
Risiko Hukum Menjadi ‘Pelakor’
- Catur Prasetya News
- Sep 26, 2021
- 0 min read
Oleh : Guslian Ade Chandra

DEFINISI PELAKOR
Pelakor yang kerab disebutkan pengambil suami orang lain merupakan akronim dari perebut lelaki orang. Dari hasil penelusuran kami, berdasarkan peristiwa yang banyak terjadi saat ini, istilah ini identik dengan perempuan yang merebut seorang laki-laki (suami) dari istri sahnya. Perbuatan tersebut biasanya dikenal dengan istilah selingkuh.
Selingkuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia adalah:
Suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri;
Tidak berterus terang; tidak jujur;
Curang; serong
Suka menggelapkan uang; korup
Suka menyeleweng

KONSEKUENSI MENJADI PELAKOR DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI
Menurut psikolog Anna Surti Ariani yang biasa dipanggil Nina "Tidak mungkin ada pelakor kalau laki-lakinya tidak mau atau tidak menanggapi rayuan perempuan" ungkap Salah dosen terkemuka di Aceh
Menurut Nina, harusnya konsekuensi tidak hanya ditanggung oleh perempuan yang menjadi pelakor saja, tetapi juga harus ditanggung kedua belah pihak yang melakukan perzinaan.
Nina menambahkan, memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada perempuan -perempuan yang tertarik pada laki-laki yang terlihat mapan, termasuk laki-laki yang terlihat bahagia dengan pasangannya. Dari sudut laki-laki, ada banyak alasan yang bisa membuat mereka tertarik pada perempuan lain yang bukan istrinya.
Ada yang karena merasa bermasalah dengan istrinya dan kesulitan mencari jalan keluar. Ada yang karena tidak mendapatkan kebutuhannya dari istrinya. Ada yang bosan pada istrinya.
Bahkan ada yang karena membutuhkan tantangan-tantangan baru. Kalau si suami memperjelas bahwa dia tidak berminat menjalin hubungan di luar perkawinannya, tentunya tidak akan ada istilah 'pelakor'. Risiko Hukum Pelakor Sepanjang penelusuran kami, tidak ada aturan yang secara khusus mengatur sanksi hukum bagi pelakor yang Anda sebutkan. Untuk menjawab pertanyaan mengenai apa sanksi yang dapat menjerat pelakor yang telah melakukan hubungan badan dengan suami orang lain, berikut penjelasannya.

Pada dasarnya, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) hukum perkawinan di Indonesia menentukan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Namun, dalam upaya mewujudkan tujuan itu, pasangan suami-istri akan menemui bermacam batu ujian, misalnya adanya perselingkuhan baik dari pihak suami atau istri.
Selain dilarang oleh agama, perselingkuhan juga dapat menjadi pemicu retaknya rumah tangga.
Jika perselingkuhan telah mengarah ke perbuatan zina (melakukan hubungan badan atau seksual dengan pasangan sah orang lain), maka suami/istri dari pasangan yang melakukan zina dapat melaporkan istri/suaminya ke polisi atas dasar Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Berikut bunyi pasalnya:
Pasal 284 Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

PENILITIAN PAKAR HUKUM
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209) menjelaskan lebih lanjut mengenai gendak/overspel atau yang disebut Soesilo sebagai zina adalah:
Persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.
Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.
Dari ketentuan di atas, tampak bahwa baik pelakor (sebagai perempuan yang melakukan hubungan seksual dengan suami orang lain) yang Anda tanyakan, maupun laki-laki yang telah mempunyai pasangan sah (suami yang direbut oleh pelakor) dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 284 KUHP.
Namun, proses penuntutan secara pidana hanya dapat dilakukan atas pengaduan pasangan sah atau istri yang suaminya direbut oleh pelakor yang Kerap terjadi dimasyarakat.
Ditegaskan pula oleh R. Soesilo bahwa Pasal 284 KUHP ini merupakan suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan (yang dimalukan).
R. Soesilo menambahkan bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah, maksudnya, apabila laki-laki (A) mengadukan bahwa istrinya (B) telah berzina dengan laki-laki lain (C), maka (B) sebagai yang melakukan perzinaan dan C sebagai yang turut melakukan perzinaan, kedua-duanya harus dituntut.
Akan tetapi, karena pada dasarnya upaya hukum pidana seharusnya merupakan ultimum remidium (upaya terakhir) dalam penyelesaian suatu masalah, disarankan bagi pasangan sah yang dirugikan untuk lebih mengedepankan upaya kekeluargaan dengan pasangan (suami) maupun pelakor tersebut dengan mengingat tujuan dari suatu perkawinan itu sendiri.
Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus dapat kita lihat pada Putusan Pengadilan Tinggi Kalimatan Barat Nomor 42/PID/2017/PT.KAL BAR (“Putusan PT Kalbar 42/2017”), dimana sebelumnya pada Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor 139/Pid.B/2017/PN.PTK (“Putusan PN Pontianak 139/2017”), terdakwa yang merupakan seorang perempuan dan berstatus sebagai istri sah telah terbukti secara sah dan menyakinkan berbuat zina pada sebuah hotel dengan seorang laki-laki (yang juga sudah menikah sah dengan perempuan lain) berdasarkan Pasal 284 ayat (1) ke 1 huruf b KUHP.
Majelis hakim pada pengadilan negeri menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan, ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali di kemudian hari dengan putusan hakim diperintahkan lain dengan alasan bahwa terpidana sebelum berakhirnya masa percobaan yang ditentukan selama 8 bulan telah bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Penulis : Guslian Ade Chandra Riwayat : Ketua Umum LSM GASPARI (Gerakan Aspirasi Pemuda Aceh Rakyat Indonesia)
Commentaires